BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pendidikan dapat
dipahami sebagai suatu aktivitas atau usaha yang dilakukan secara sadar baik
itu secara langsung ataupun tidak langsung oleh pemerintah, keluarga dan atau
masyarakat sebagai pengelola pendidikan dan yang memiliki kepentingan terhadap
pendidikan. Untuk menjamin terjadinya proses pendidikan diperlukan dukungan
dari berbagai unsur seperti manusia, material, waktu, teknologi dan dari setiap
pendidikan diharapkan menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki
pengetahuan, keterampilan, sikap mandiri, percaya diri, memiliki pandangan jauh
kedepan, gemar belajar, beriman, dan berakhlak mulia.
Untuk menghasilkan
sumber daya manusia yang diharapkan ini, tidak mungkin terjadi secara alamiah
dalam arti tanpa usaha dan pengorbanan. Mutu dari keluaran yang diharapkan
banyak dipengaruhi oleh besarnya usaha dan pengorbanan yang diberikan. Semakin
tinggi tuntutan mutu, akan berdampak pada jenis dan pengorbanan yang harus
direlakan.
Pembiayaan
pendidikan tergantung dari tujuan yang ingin dicapai dari adanya proses
pendidikan yang diinginkan, selama kualitas pendidikan yang diinginkan, selama
kualitas pendidikan merupakan tuntutan maka pembiayaan pendidikan pun menuntut
untuk diperhatikan.
Dalam perkembangan
dunia pendidikan dewasa ini dengan mudah dapat dikatakan bahwa masalah
pembiayaan menjadi masalah yang cukup pelik untuk dipikirkan oleh para pengelola
pendidikan. Karena masalah pembiayaan pendidikan akan menyangkut masalah tenaga
pendidik, proses pembelajaran, sarana prasarana, pemasaran dan aspek lain yang
terkait dengan masalah keuangan. Fungsi pembiayaan tidak mungkin dipisahkan
dari fungsi lainnya dalam pengelolaan sekolah. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa pembiayaan menjadi masalah sentral dalam pengelolaan kegiatan pendidikan.
Ketidakmampuan suatu lembaga untuk menyediakan biaya, akan menghambat proses
belajar mengajar. Hambatan pada proses belajar mengajar dengan sendirinya
menghilangkan kepercayaan masyarakat pada suatu lembaga. Namun bukan berarti
bahwa apabila tersedia biaya yang berlebihan akan menjamin bahwa pengelolaan
sekolah akan lebih baik.
2. Rumusan
Masalah
Apa isu pembiayaan pendidikan di Indonesia dan bagaimana realitasnya di lapangan?
3. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui isu pembiayaan pendidikan di
Indonesia
b. Untuk mengetahui bagaimana realitas isu tersebut di
lapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan
Hukum
UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional lebih lanjut telah mengatur beberapa pasal
yang menjelaskan pendanaan pendidikan yaitu pada Pasal 11 Ayat 2 Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun.
Lebih lanjut pada Pasal 12, Ayat (1) disebutkan bahwa setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang
orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya dan mendapatkan biaya
pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Di
samping itu disebutkan pula bahwa setiap peserta didik berkewajiban ikut
menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang
dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pada Bab VIII Wajib
Belajar Pasal 34 menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam)
tahun dapat mengikuti program wajib belajar; Pemerintah dan Pemerintah Daerah
menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar
tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan
masyarakat. Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam Ayat
(1), Ayat (2) dan Ayat (3) diatur lebih lanjut dengan PP. Pendanaan Pendidikan
menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip
keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pengelolaan dana pendidikan dilakukan
berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas
publik.
Partisipasi
masyarakat dalam pendidikan berbasis masyarakat adalah dengan berperan serta
dalam pengembangan, pelaksanaan kurikulum, dan evaluasi pendidikan, serta
manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Dana
penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi
dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah.
UU No. 14/2005
tentang Guru dan Dosen Pasal 13 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan
sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan
kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik diatur dengan PP
Pada Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan terdapat kerancuan antara Bab I Pasal 1 Ayat (10)
dan Bab IX Pasal 62 Ayat (1) s/d (5) tentang ruang lingkup standar pembiayaan.
Ketentuan Umum tentang Standar Pembiayaan pada Pasal 1 tampak lebih sempit dari
Pasal 62 yaitu standar pembiayaan pada Pasal 1 adalah mencakup standar yang
mengatur komponen dan besarnya “biaya operasi” satuan pendidikan yang berlaku
selama satu tahun. Pada Pasal 62 mencakup “biaya investasi, biaya operasi dan
biaya personal”. Pada Bab IX: Standar Pembiayaan, Pasal 62 disebutkan bahwa:
(1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan
biaya personal.
(2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya
manusia, dan modal kerja tetap.
(3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi biaya
pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti
proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
(4) Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
meliputi:
a. Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang
melekat pada gaji.
b. Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
c. Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi,
pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak,
asuransi, dan lain sebagainya.
(5) Standar biaya operasi satuan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan
Menteri berdasarkan usulan BSNP
Sebelum PP tentang standar pembiayaan
pendidikan ini dikeluarkan, telah ada SK Mendiknas tentang Standar Pelayanan
Minimal Pendidikan (SPM) yaitu Kepmendiknas No.053/U/2001 yang menyatakan bahwa
SPM bidang pendidikan adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan atau acuan
bagi penyelenggaraan pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota sebagai daerah
otonom. Penyusunan SPM bidang Pendidikan Dasar dan Menengah mengacu kepada PP
No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom mengisyaratkan adanya hak dan kewenangan Pemerintah Pusat untuk
membuat kebijakan tentang perencanaan nasional dan standarisasi nasional.
Dalam rangka penyusunan standarisasi
nasional itulah, Mendiknas telah menerbitkan Keputusan No.053/U/2001 tanggal 19
April 2001 tentang SPM yang diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dan
sekaligus ukuran keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah
provinsi, kabupaten/kota bahkan sampai di tingkat sekolah.
Kepmendiknas No.
129/U/2004 merupakan hasil revisi dari kepmen sebelumnya sesuai dengan
perubahan yang terjadi dalam sistem dan manajemen pendidikan nasional. Pada
kepmen ini pendidikan nonformal, kepemudaan, olahraga, dan Pendidikan Usia Dini
lebih ditonjolkan. Pendidikan nonformal seperti pendidikan keaksaraan,
pendidikan kesetaraan SD, SMP, SMA, pendidikan ketrampilan dan bermata
pencaharian, kelompok bermain, pendidikan kepemudaan dan olahraga secara
ekplisit telah ditentukan standar pelayanan untuk masing-masing SPM.
Karena standar pembiayaan juga mencakup
kebutuhan atas buku teks pelajaran, maka perlu diperhatikan Peraturan Mendiknas
No. 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran yaitu Pasal 7: satuan pendidikan
menetapkan masa pakai buku teks pelajaran paling sedikit 5 tahun dan buku teks
pelajaran tidak dipakai lagi oleh satuan pendidikan apabila ada perubahan
standar nasional pendidikan dan buku teks pelajaran dinyatakan tidak layak lagi
oleh Menteri. Pada Pasal 8 ditegaskan bahwa: guru dapat menganjurkan kepada
peserta didik yang mampu untuk memiliki buku teks pelajaran; anjuran
sebagaimana dimaksud bersifat tidak memaksa atau tidak mewajibkan; untuk
memiliki buku teks pelajaran, peserta didik atau orangtua/walinya membelinya di
pasar; untuk membantu peserta didik yang tidak mampu memiliki akses ke buku
teks pelajaran, satuan pendidikan wajib menyediakan paling sedikit 10 (sepuluh)
eksemplar buku teks pelajaran untuk setiap mata pelajaran pada setiap kelas,
untuk dijadikan koleksi perpustakaannya.
2.2 Pembiayaan Pendidikan
Pendidikan dalam operasionalnya tidak dapat
lepas dari masalah biaya. Biaya pendidikan yang dikeluarkan untuk
penyelenggaraan pendidikan tidak terlihat secara nyata. Oleh karena itu, dana
yang dikeluarkan oleh pemerintah atau masyarakat maupun orang tua untuk
menghasilkan pendidikan dianggap sebagai investasi, maksudnya adalah di masa
yang akan datang harus dapat menghasilkan keuntungan atau manfaat, baik dalam
bentuk uang atau pengetahuan.
Biaya pendidikan terdiri dari biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pendidikan, sarana/prasarana,
biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua
atau siswa sendiri. Anggaran pendidikan terdiri dari dua sisi, yaitu anggaran
penerimaan dan pengeluaran untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Anggaran
penerimaan yaitu pendapatan yang diperoleh oleh sekolah dari berbagai sumber
resmi dan diterima secara teratur. Misalnya dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah, masyarakat sekitar, orang tua murid dan sumber lain. Sedangkan anggaran
pengeluaran adalah jumlah dana yang dibelanjakan untuk kepentingan pelaksanaan
pendidikan di sekolah misalnya alat belajar, pengeluaran TU, sarana/prasarana
sekolah, kesejahteraan pegawai, administrasi, pembinaan teknis educative dan
pendataan. Perhitungan biaya harus diatur menurut jenis dan volumenya dan harus
diadakan analisis biaya yang dimaksudkan untuk membantu para pengambil
keputusan dalam menentukan diantara alternatif alokasi sumber-sumber pendidikan
yang terbatas tapi memberikan keuntungan tinggi. Pembiayaan itu meliputi tiga
hal, yaitu: 1. Budgeting (penyusunan anggaran), Penyusunan anggaran ini
meliputi: Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Nagara serta Rencana Anggaran
Pendapatan Belanja Sekolah. 2. Accounting (pembukuan), kegiatan pembukuan ini
disebut pengurusan keuangan yang meliputi: kewenangan menentukan kebijakan
menerima atau mengeluarkan uang dan tindak lanjutnya. 3. Auditing
(pemeriksaan), yang dimaksud penerimaan disini adalah pemeriksaan semua
kegiatan dari mulai penerimaan dan pertanggungjawaban pengeluaran.
2.3 Konsep Pendidikan Gratis
Impian masyarakat akan datangnya pendidikan
gratis yang telah ditunggu-tunggu dari sejak zaman kemerdekaan Republik
Indonesia telah muncul dengan seiring datangnya fenomena pendidikan gratis
untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Fenomena pendidikan
gratis ini memang sangat ditunggu-tunggu, pasalnya Pemerintah mengeluarkan dana
BOS (Biaya Operasional Sekolah) untuk menutupi harga-harga buku yang kian hari
kian melambung, sumbangan ini-itu, gaji guru yang tidak cukup dan biaya-biaya
lainnya.
Dilihat dari perkembangannya, fenomena ini
tidak lepas dari pro dan kontra. Bagi yang pro, dengan program-program itu
mengatakan bahwa itu adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan
dan penurunan angka anak putus sekolah, sekolah gratis bagi orangtua bisa
mengurangi beban pikirannya untuk masalah biaya pendidikan dan tidak ada lagi
anak-anak yang tidak boleh ikut ujian hanya karena belum bayar iuran sekolah.
Sedangkan yang kontra berkata pemerintah bagaikan pahlawan kesiangan, Hal ini
dikarenakan telah ada yang lebih dulu melakukan hal tersebut, yaitu LSM-LSM
yang concern pada bidang pendidikan dan penanganan masyarakat tak mampu.
Adanya kurang rasa harus sekolah, kesadaran akan pendidikan sangat kurang, anak
lebih mementingkan pekerjaan dari pada harus sekolah yang tidak mengeluarkan
apa-apa. Biaya pendidikan gratis hanya sampai dengan Sekolah Menengah Pertama
sedangkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas tidak. Sedangkan tamatan Sekolah
Lanjutan Tingkat Ataslah yang merupakan tombak utama dan usia yang mapan untuk
mencari pekerjaan serta penghasil devisa negara.
Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh
peserta didik yang punya semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada
tantangan, salah satunya tantangan biaya. Generasi muda dipupuk untuk tidak
mempunyai mental serba gratisan. Sebaiknya mental gratisan dikikis habis. Kerja
keras, rendah hati, toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus
ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing di dunia internasional, mampu
ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya menjadi bangsa pengagum,
bangsa yang rakus mengonsumsi produk. Paling susah adalah pemerintah
menciptakan kondisi agar setiap orangtua mendapat penghasilan yang cukup
sehingga mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.
Tidak hanya murid saja melainkan guru yang
terkena imbas dari pendidikan gratis ini. Kebanyakan dari guru sekolah gratisan
mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan
memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan hidup”. Lebih
celaka lagi jika guru berpikiran: pelayanan pada peserta didik sebesar honor
saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan
mutu pendidikan.
Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan
kesulitan menutup biaya operasional sekolah, apalagi menyejahterakan gurunya.
Pembiayaan seperti listrik, air, perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor,
transpor, uang makan, dan biaya lain harus dibayar. Mencari donor pun semakin
sulit. Sekolah masih bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian
pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan menutup pembiayaan
itu.
Pemberlakuan sekolah
gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan, penurunan minat belajar
para siswa, dan penurunan tingkat kinrerja guru dalam kegiatan belajar mengajar
di dunia pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang diringankan dalam
hal biaya, namun kini para guru juga akan merasa lega dengan kebijakan
pemerintah tentang kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun 2011 ini pemerintah
telah memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk
pendidikan sebesar 20%. Sehingga tersedianya anggaran untuk menaikkan
pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat rendah
yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya
berpendapatan Rp. 2 juta.
Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah.
Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya besar, seperti: study tour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam bagi siswa dan guru untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya tidak ditanggung biaya BOS. Dan pemungutan biaya tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan tiap-tiap sekolah, serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin agar biaya-biaya tersebut tidak memberatkan para siswa dan orangtua. Bagaimana jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang masih kekurangan dalam pemenuhan biaya operasionalnya? Pemerintah daerah wajib untuk memenuhi kekurangannya dari dana APBD yang ada. Agar proses belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa kekurangan biaya.
Melihat kondisi di atas, semua itu adalah usaha pemerintah untuk mensejahterahkan rakyatnya dalam hal ekonomi dan pendidikan, tapi alangkah baiknya tidak memberlakukan sekolah gratis melainkan sekolah murah, dan program bea siswa. Mengapa sekolah harus murah. Diantaranya; sekolah murah adalah harapan semua orang, tidak hanya para murid dan orangtuanya, namun juga para guru selagi kesejahteraannya mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sekolah murah dalam banyak hal bisa menyenangkan, tanpa dibebani tanggungan biaya sekolah sang anak yang mahal, orangtua dapat tenang menyekolahkan anaknya dan urusan pencarian dana untuk memenuhi kebutuhan keluarga lebih dikosentrasikan kepada kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan. Sang anak pun bisa tenang melakukan aktivitas pendidikan, sebab tidak lagi merasa menjadi beban bagi orangtua.
Dan bukankah suasana
yang menyenangkan salah satu faktor terpenting dalam proses belajar-mengajar?
Bagaimana peserta didik dapat belajar dengan baik jika konsentrasinya harus
terbagi memikirkan dana sekolahnya yang belum terlunasi orangtuanya. Ataupun
waktu di luar sekolahnya harus terbagi untuk membantu orangtuanya mencari
tambahan penghasilan. Tidakkah kasus murid-murid yang bunuh diri karena biaya
sekolah yang mencekik belum menjadi peringatan?
Adanya sekolah murah
yang dana aktivitas pendidikannya terbanyak atau sepenuhnya ditanggung
pemerintah, bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan peran dan keberadaan
pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan segera didengar dan dipatuhi
masyarakat selagi masyarakat benar-benar merasa pemerintah berada di pihak
mereka dan berusaha menyejahterahkan masyarakatnya. Sebaliknya, pemerintah pun
akan memiliki bargaining politik yang kuat. Salah satu prasyarat pemerintahan
yang kuat dan berdaulat adalah harus mendapatkan cinta dari rakyatnya.
2.4 Konsekuensi Pendidikan Gratis
Pendidikan gratis
seperti kita ketahui bersama, mungkin saja dapat dilaksanakan oleh suatu
pemerintahan, namun tentunya dengan menimbulkan beberapa konsekuensi yaitu
anggaran pemerintah daerah di bidang pendidikan akan terkuras untuk membiayai
operasional pendidikan di daerah tersebut, sehingga anggaran untuk peningkatan
mutu pendidikan yang menyangkut perbaikan/peningkatan sarana-prasarana tentulah
harus dikalahkan. Konsekuensi lainnya pendidikan gratis untuk semua dapat
dilakukan, namun dengan mutu yang sangat minim atau dengan kualitas yang
seadanya. Sebab, seluruh anggaran telah terkuras untuk operasional sekolah saja.
Di samping itu
dengan terkonsentrasinya dana pendidikan untuk pendidikan gratis maka
kesejahteraan dan peningkatan kualitas SDM pendidik akan dikesampingkan, dan
menempati urutan berikutnya. Apabila ini telah terjadi maka akan sia-sia saja
memberikan pendidikan gratis tetapi output-nya atau lulusannya tidak bermutu.
Yang patut dan harus
diprogramkan adalah memberikan pendidikan gratis bagi anak didik tertentu saja,
yaitu yang memiliki kemampuan tinggi dan prestasi yang bagus (pintar), dan bagi
yang kehidupan perekonomian orangtuanya di bawah rata-rata (miskin), atau pun
bagi anak-anak yatim piatu. Anak-anak yang tergolong seperti itulah yang patut
dan wajib mendapatkan pendidikan gratis dari pemerintah.
Kata gratis sering
menjebak kita dan memberikan harapan besar kepada masyarakat, akan lebih tepat
kalau kata itu diganti sesuai realitas. Misalnya, pendidikan yang disubsidi.
Atau pendidikan yang terjangkau, atau pendidikan bagi yang tidak mampu. Kesan
bombastis melekat dalam ungkapan gratis, karena kenyataan pungutan sekolah
sering lebih mahal dari komponen yang digratiskan. Kata gratis memang mudah
sekali diklaim keberhasilan elite politik tertentu. Padahal, fakta di lapangan
gratis, tetapi masih banyak pungutan.
Penyelenggaraan
pendidikan bermutu tidak lepas dari partisipasi masyarakat. Kata gratis membuat
masyarakat enggan berpartisipasi sekaligus membuat masyarakat kian bergantung.
Selama ini, masyarakat mengerti gratis tanpa pungutan tambahan, seperti
sekarang ini gratis.
Untuk mengatasi
kesenjangan pendidikan, tidakkah lebih baik, misalnya, pemerintah menerapkan
konsep subsidi silang yang sudah lama dirintis oleh para penyelenggara
pendidikan swasta? Mereka cukup berpengalaman mengelola subsidi silang dari
anak-anak mampu kepada anak-anak miskin.
Model ini lebih
berkeadilan daripada mengkampanyekan sekolah gratis. Masyarakat dan terutama
orangtua adalah pilar penting pendidikan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan pada bab sebelumnya, maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya adalah:
1. Isu pembiayaan pendidikan diantaranya yakni; Pendidikan Gratis dan Biaya
Operasional Sekolah (BOS). Kedua isu di atas adalah isu pembiayaan pendidikan
yang sedang dalam proses untuk diwujudkan dan sedang berjalan.
2. Pendidikan gratis sangat berkaitan erat dengan terpenuhinya Anggaran
Pendidikan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sebab,
masalah pembiayaan pendidikan akan menyangkut masalah tenaga pendidik, proses
pembelajaran, sarana prasarana, pemasaran dan aspek lain yang terkait dengan
masalah keuangan. Sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen
IV) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
3. Pendidikan Gratis pada dasarnya sangat perlu untuk ditinjau ulang upaya
pewujudannya, sebab pendidikan yang digratiskan justru akan mempengaruhi mutu
pendidikan itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan tenaga pendidik, proses pembelajaran,
sarana-prasarana, pemasaran dan aspek lain yang terkait dengan masalah
keuangan. Maka, akan lebih tepat bila pendidikan gratis diubah menjadi
pendidikan murah.
4. Ada beberapa konsekuensi pendidikan gratis yakni anggaran pemerintah
daerah di bidang pendidikan akan terkuras untuk membiayai operasional
pendidikan di daerah tersebut, sehingga anggaran untuk peningkatan mutu
pendidikan yang menyangkut perbaikan/peningkatan sarana-prasarana tentulah
harus dikalahkan, juga konsentrasi tidak lagi pada mutu pendidikan.
5. Solusi yang terbaik adalah memberikan pendidikan gratis pada anak didik
tertentu saja, seperti kategori miskin dengan menggratiskan biaya
pendidikannya. Hal ini dapat ditimba pengalamannya dari para pengelola sekolah
swasta yang mampu melakukan subsidi silang antara siswa mampu dan miskin.
DAFTAR PUSTAKA
Engkoswara dan Aan Komariah. 2010. Administrasi Pendidikan. Bandung.
Alfabeta
Fattah, Nanang. 2004. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung.
Remaja Rosdakarya
Rivai, Veithzal dan Sylviana Murni. 2008. Education Manajemen.
Jakarta. Rajawali Pers.
Sihombing, Umberto. 2003. Pembiayaan
Pendidikan. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar